Review Jurnal Subjek dan Objek Hukum

 Review Jurnal Subjek dan Objek Hukum


Tugas Kelompok (2EB06):

1.AnggitDanisa 20210841
2. Bunga Restarina 21210491
3. Dian Julia Puspitasari 21210961
4. Maulana 24210261
5. Supra Andalini F S 26210742
Judul   : PERSAMAAN PERKREDITAN PERBANKAN KONVENSIONAL DAN PEMBIAYAAN SYARIAH
Pengarang : H.M. Mawardi Muzamil
Abstrak :  
     Persamaan perkerditan pada perbankan konvensional dan pembiayaan berdasarkan Syariah dapat dilihat melalui antara lain : subyek, objek, hubungan hokum, hak-kewajiban, serta peristiwa hokum yakni : bentuk perjanjian, sifat perjanjian, jaminan, tujuan, serta klausula – klausulanya.   
Pendahuluan :
     Krisis moneter yang dimulai tahun 1997 sebagai akibat masalah permodalan, membengkaknya kredit macet, pelanggaran-pelanggran batas maksimal pemberian kredit, hingga negatif spread, semuanya menandai coreng morengnya bisnis Perbankan Indonesia.  Begitu parahnya krisis tersebut maka pemerintah berketetapan menjadikan agenda penyehatan perbankan sebagai prioritas utama dalam reformasi ekonomi Indonesia.
     Salah satu kebijakan yang diambil pemerintah adalah dikeluarkannnya Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang0Undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan.
     Sementara itu perkembangan perekonomian nasional senantiasa bergerak cepat dengan tantangan semakin komplek, maka perlu pernyesuaian kebijaksanaaan di bidang ekonomi termasuk sector Perbankan yaitu dengan dikeluarkannya Undang –Undang nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan.
     Disamping berkeinginan untuk penyempurnaan system Perbankan Nasional juga berkeinginan menampung aspirasi dan kebutuhan masyarakat dengan meningkatkan peran bank yang menyelenggarakan kegiatan berdasarkan prinsip syariah, dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mendirikan bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, termasuk pemberian kesempatan kepada Bank Umum untuk membuka kantor cabangnya yang khusus melakukan kegiatan berdasarkan Prinsip Syariah, yang dikenal dengan dual system. Sedangkan Bank Perkreditan Rakyat yang melakukan kegiatan usahanya konvensional tidak diperkenankan melakukan kegiatan berdasarkan  Prinsip Syariah , sebaliknya bagi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang melaksanakaan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah tidak diperkenankan melakukan kegiatan secara konvensional.
Pembahasan :
     Bank Syariah sering disebut Bank Islam Istilahnya Syariah maupun Islam secara akademis memang berbeda namun secara teknis penyebutan Bank Syariah mempunyai perngertian sama. Secara yuridis menyebutkan yang paling benar berdasarkan Undang-Undang nomor : 10 tahun 1999 adalah Bank Umum Syariah atau Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Disamoing itu kegiatan Bank Syraiah itu harus berpedoman pada ketentuan Hukum Islam yaitu Alqur’an dan Hadist
     Perjanjian Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syari’ah pada Bank Umum maupun  BPRS mempunyai keunikan system tersendiri,ia bukan saja comprehensive tetapi juga universal. Sebagai salah satu system maka terdapat persamaan serta perbedaan substantive antara Bank Umum Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat berdasar Syariah dengan Bank Umum maupun Bank Perkreditan Rakyat Konvensional yang berdasarkan Bunga.
     Dalam kesempatan lain Soerjono Sukanto (1981,hal 72) menyatakan pengertian dasar dari suatu system hokum tersebut adalah : subyek hokum, obyek hokum, hak dan kewajiban, peristiwa hokum, dan hubungan hokum.
     Adapun kerangka dasar tersebut terdiri dari komponen – komponen pokok dari suatu system hokum yakni :
a.       Subyek hokum, yaitu setiap pihak yang menjadi pendukung hak.
b.      Obyek hokum yakni segala sesuatu yang dapat menjadi obyek  suatu hubungan hokum.
c.       Hubungan hokum yakni hunungan yang diatur oleh hokum.
d.      Hak yang bersifat voluntary dan kewajiban compulsory
e.      Peristiwa hokum yakni peristiwa – peristiwa social yang membawa akibat yang diatur oleh hokum (Soekamto, 1978,hal. 71-72).
     Dilihat dari subyek hokum antara Bank Konvensional dan Bank Syariah terdapat persamaan yakni pihak-pihak yang melakukan perbuatan hokum ini dapat berupa orang / perorangan atau sekumpulan. Orang atau orang – orang dalam pengertian kelompok orang seorang baik beragama Islam tanpa perbedaan, serta perkumpulan.
     Dalam hal pemohon pembiayaan pada Bank Syariah yang benbentuk badan hokum, maka disyaratkan melampirkan anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya.
     Sedang dilihat dari objek antara Bank Konvensional dan Bank Syariah persamaannya adalah berupa uang (kecuali pada pembiayaan Muharabah yakni jual beli barang maupun Ijarah sewa menyewa).
     Dilihat dari hak dan kewajiban antara Bank Syariah maupun Bank Konvensioanl dengan Nasabah, maka akan terlihat persamaan yaitu adanya sisi tanggung jawabnya, yakni kewajiban yang  terletak pada Bank Syariah itu sendiri dan kewajiban yang menjadi beban dari nasabah pemgambil dana / penerima pembiayaan maupun penyimpan dana sebagai akibat dari hubungan hokum dengan Bank Syariah. Hak dan kewajiban para nasabah Bank Syariah tersebut diwujudkan dalam bentuk prestasi. Prestasi yang harus dipenuhi oleh Bank dan nasabah adalah prestasi yang telah ditentukan dalam akad Pembiayaan antara Bank Syariah dan nasabah terhadap produk perbankan baik berupa bagi hasil maupun jual beli, sewa dan Qordhul Hasan.
     Adapun bentuk perjanjian kredit atau pembiayaan yang dilakukan oleh Bank Syariah maupun Bank Konvensional adalah semua akad atau perjanjian yakni sama – sama dalam bentuk tertulis baik dengan akta dibawah tangan maupun akta notariel.
     Sedang dalam hal resiko , antara kredit Bank Konvensional dan Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syari’ah pada Bank syariah keduannya sama sama mengandung resiko yang tinggi sebab kemungkinan kredit / pembiayaanya selalu terjadi resiko kemacetan. Dalam pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah, masalah resiko menjadi lebih besar, bila mana nasabah mengalami kerugian. Dalam hal terjadi kerugian yang bukan karena kesengajaan nasabah maka Bank Syariah turut menanggung risiko, secara proporsional. Sedang bilamana nasabah mengalami kerugian yang disebabkan karena kesengajaan dan kelalaian nasabah kerugian ditanggung nasabah sendiri.
     Selanjutnya masalah jaminan, Syariah Islam tidak dilarang bahkan dianjurkan untuk mensyaratkan adanya jaminan. Jaminan yang syaratkan Bank Syariah dalam hal pembiayaan selain dari jaminan pokok yang berupa proyek yang dibiayai atau barang yang dibiayai dengan pembiayaan. Dalam keadaan tertentu disyaratkan pula jaminan tambahan baik personal garansi, maupun hak tanggungan. 
 
Kesimpulan
     Perjanjian Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syari’ah pada Bank Umum maupun  BPRS mempunyai keunikan system tersendiri,ia bukan saja comprehensive tetapi juga universal. Sebagai salah satu system maka terdapat persamaan serta perbedaan substantive antara Bank Umum Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat berdasar Syariah dengan Bank Umum maupun Bank Perkreditan Rakyat Konvensional yang berdasarkan Bunga.
     Hak dan kewajiban para nasabah Bank Syariah tersebut diwujudkan dalam bentuk prestasi. Prestasi yang harus dipenuhi oleh Bank dan nasabah adalah prestasi yang telah ditentukan dalam akad Pembiayaan antara Bank Syariah dan nasabah terhadap produk perbankan baik berupa bagi hasil maupun jual beli, sewa dan Qordhul Hasan.
     Dilihat dari hak dan kewajiban antara Bank Syariah maupun Bank Konvensioanl dengan Nasabah, maka akan terlihat persamaan yaitu adanya sisi tanggung jawabnya, yakni kewajiban yang  terletak pada Bank Syariah itu sendiri dan kewajiban yang menjadi beban dari nasabah pemgambil dana / penerima pembiayaan maupun penyimpan dana sebagai akibat dari hubungan hokum dengan Bank Syariah.
Daftar Pustaka
Bank Indonesia dan UII, 2003, Workshop Pengawasan dan Aspek Syariah dalam Operasionalisasi
     Perbankan syariah dalam Rangka Penyusunan R.U.U tentang Perbankan Syariah, UII. Yogyakarta.
Bank Indonesia, 2002, Perbankan Syariah Dalam Sistem Perbankan Nasional : Suatu Keniscahyaan
     (menyongsong Lahirnya RUU Perbankan Syariah –Kumpulan Makalah) Bank Indonesia, Jakarta
CIC, 1999, laporan Bisnis Indocommercial, CIC,Jakarta.
Sumber

Review Jurnal Pengertian Hukum dan Hukum Ekonomi

Review Jurnal Pengertian Hukum dan Hukum Ekonomi

1. Anggit Danisa 20210841
2. Bunga Restarina 21210491
3. Dian Julia Puspitasari 21210961
4. Maulana 24210261
5. Supra Andalini F S 26210742
  
Judul : PEMBAYARAN DALAM TRANSAKSI PERDAGANGAN INTERNASIONAL
Pengarang : IRIANSYAH
Abstrak
Dalam transaksi perdagangan internasional yg dilakukan oleh penjual (eskportir) dan pembeli (importer) akan timbul hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak. Eskportir wajib melakukan penyerahan barang dan berhak untuk menerima pembayaran atas penyerahan barang. Sedangkan disisi lain importer wajib melunasi harga barang dan berhak untuk menuntut penyerahan barang yg dibelinya. Adakalanya antara eskportir dan impportir berada pada suatu tempat terpisah baik secara geopolitik maupun geografis, maka penyelesaian pembayaran memiliki karakteristik tersendiri karena mata uang yg berbeda dan mereka terikat dengan hokum dan peraturan Negara masing-masing. Adanya jarak dan tidak saling mengenal satu sama lain akan menimbulkan resoko kecurigaan bagi masing-masing pihak yg terlibat, apalagi dalam transaksi perdagangan internasional jarang sekali pembayaran dilakukan secara tunai atau di muka karena beresiko tinggi bagi importer. Untuk menengahi dan menguranagi resiko diatas maka diperlukan pembayarab dengan cara letter of credit (L/C) sebagaimana di atur dalam Uniform and Practice (UCP 500)
Kegiatan jual beli bersifat konsensual. Untuk terjadinya perjanjian jual beli cukup dengan kata sepakat saja, tanpa di isyaratkan bentuk-bentuk formal tertentu. Kegiatan ekspor impor didasari oleh kondisi bahwa tidak ada suatu Negara yg benar-benar mandiri.
Kewajiban penjual – sesuai pasal 1457 KUHP seorang penjual mempunyai dua macam kewajiban, pertama wajib menyerahkan barang dan kedua wajib menanggung pemakaian atas barang yg dijual itu.
Kewajiban pembeli- kewajiban utama pembeli adalah membayar harga barang yg dibeli (pasal 1513 KUHP) sesuai dengan pasal 1466 KUHP pembeli berkewajiban pula untuk memikul biaya-biaya pembuatan akta jual beli dan biaya-biaya tambahan lainnya, kecuali kalau di perjanjikan sebaliknya.
Pembahasan
DASAR HUKUM TRANSAKSI PERDAGANGAN INTERNASIONAL
Menurut Munir fuady dasar hokum itu antara lain:
1.       contract provisions. Merupakan hal yg diatur dalam kontrak tersebut olej kedua belah pihak. Contract provisions ini merupakan dasar hokum bagi suatu kontrak.
2.       General contract law. Tiap-tiap Negara memiliki general contract law tersendiri.  Di dalamnya diatur asas-asas dan prinsip-prinsip suatu kontrak.
3.       Specific contract law. Selain ketentuan-ketentuan umum, kitab undang-undang hokum perdata juga mengatur tentuan khusus yg berkenaan dengan kontrak-kontrak tertentu.
4.       Kebiasaan bisnis. Kebiasaan-kebiasaan merupakan salah satu sumber hokum dan dapat menjadi pedoman dalam kontrak bisnis termasuk kontrak jual beli internasional.
5.       Yurisprudensi. Putusan pengadilan yg telah memperoleh kekuatan hokum tetap dapat menjadi dasar hokum bagi berlakunya kontrak.
6.       Kaidah hokum perdata internasional. Berkaitan dengan jual beli internasional, jika ada perselisihan tentang hokum mana yg berlaku, bilamana hal tersebut tidak diatur dalam kontrak maka di gunakanlah kaidah-kaidah hokum perdata internasional ini.
7.       International convention. Adalah kesepakatan-kesepakatan internasional yg telah, sedang atau di ratifikasi oleh Negara-negara di dunia.
HUBUNGAN HUKUM PIHAK YANG TERKAIT DALAM TRANSAKSI PERDAGANGAN INTERNASIONAL
1.       Hubungan hokum antara pembeli dan penjual.
Hal ini di bahas pada pasal 1457 KUHP yg menyatakan bahwa jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yg satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yg lain untuk membayar harga yg telah di perjanjikan.
2.       Hubungan hokum pembeli dengan issuing bank
Hubungan hokum antara pembeli dan issuing bank ini dapat di pandang sebagai pemberian kuasa (lastgeving) dengan pemberian upah.
3.       Hubungan hokum issuing bank dengan advising bank
Antara issuing bank dan advising dapat terjadi kerjasama, karena antara pembeli sebagai beneficiary dan issuing bank berada pada Negara yg berbeda.
4.       Hubungan hokum issuing bank dengan penjual
Hubungan hokum antara issuing bank dengan penjual terjadi karena issuing bank mengambil alih kredibilitas pembeli dalam melakukan pembayaran kepada penjual dan menjamin pembayaran dari pembeli.
CARA PEMBAYARAN
Dengan L/C (letter of credit)
Untuk menengahi serta mengurangi resiko masing-masing pihak dewasa ini dikenal dengan cara pembayaran yg lazim disebut yaitu L/C. L/C dapat diartikan sebagai “jaminan pembayaran bersyarat” yg merupakan surat yg diterbitkan oleh bank (issuing bank) atas permintaan importer yg ditujukan kepada bank lain di Negara eksportir (advising negotiating bank) untuk kepentingan pihak eksportir dimana eksportir diberi hak untuk menarik wesel-wesel atas yg bersangkutan sebesar jumlah uang yg disebutkan dalam surat itu.
Unsur-unsur pokok dalam L/C:
Credit substitution, yaitu issuing bank menggantikan kredibilitas applicant dengan kredibilitas nya sendiri.
Promise to pay, L/C berisi jaminan pembayaran dari issuing kepada beneficiary.
Terms and condition, jaminan pembayaran bersyarat dimana akan dilakukan pembayaran sepanjang beneficiary telah memenuhi semua persyaratan yg ditetapkan dalam L/C.
Time, menyangkut expiredate yaitu tanggal berakhirnya jangka waktu berlaku L/C, latest shipment date yaitu tanggal terakhir pengiriman sesuai yg telah ditentukan dalam L/C, dan latest presentation date yaitu tanggal terakir bagi beneficiary untuk penyerahan dokumen ke bank
JENIS JENIS L/C DAN KEUNTUNGANNYA
Menurut sifatnya                             : Revocable L/C
                                                                  Irrevovcable L/C
                                                                  Irrevocable and Confirmed L/C
Menurut saat pembayaran          : Sight L/C
                                                                  Usance L/C
                                                                  Red Clause L/C
Menurut persyaratan                    : Open L/C
                                                                  Restricted L/C
                                                                  Documentary L/C
                                                                  Revolving L/C
                                                                  Back to back L/C
Importer akan merasa aman karena bank akan menolak pembayaran kalau semua persyaratan L/C belum terpenuhi.
MEMILIH JENIS L/C YANG AMAN
Advance Payment
Open Account
Konsinyasi
Collection dengan Kondisi Document Against Payment
Collection dengan Ketentuan Documen Against Acceptance (D/A)
KESIMPULAN
Di dalam jual beli internasional, tak luput dari permasalahan. Permasalahan ini muncul karena adanya banyak perbedaan. Contohnya saja mata uang dan masalah geografis. Untuk itu di perlukan hokum dan peraturan yang jelas untuk menangani nya serta menghindari munculnya konflik antara eksportir dan importer. Dengan di berlakukan hokum yg jelas, maka akan semakin menstimulasi perkembangan perdagangan internasional.

Review Jurnal Sengketa Ekonomi


Review Jurnal Sengketa Ekonomi

Tugas Kelompok (2EB06):
1.AnggitDanisa 20210841
2. Bunga Restarina 21210491
3. Dian Julia Puspitasari 21210961
4. Maulana 24210261
5. Supra Andalini F S 26210742

Judul   : PENERAPAN FIQIH MUAMALAH SEBAGAI DASAR KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH

Pengarang : Hj. Renny Supriyatni     
Abstrak :
The development of Islamic economic institutions in Indonesia has created the conflict of interest between stakeholder and Religious Court, especially in settlement of syariah-economic disputes. The application of fiqih muamalah in settlement of syariah-economic disputes in Islamic Religious Court, has been the crucial issue in Indonesia positive law . This article will seek to find and determine whether the application of fiqih muamalah as a basis in such dispute settlement is consistent with the Islamic Law Principles. It also examines the implementation of fiqih muamalah that has become an Indonesian positive law. This research applies juridical normative approach. Data collection is gathered from library research complemented by primary from field research. The specification of this research is descriptive analysis, and the data gathered is analyzed in qualitative method. 

Pendahuluan :
Ekonomi syari’ah hadir dalam ranah sistem hukum nasional merupakan pengejawantahan dari semakin tumbuhnya pemikiran dan kesadaran untuk mewujudkan prinsip hukum sebagai agent of development, agent of modernization dan hukum sebagai a tool of social engineering. Hal ini seiring dengan perkembangan lembaga ekonomi/keuangan syariah di Indonesia, maka akan ada perbedaan kepentingan (conflict of interest) dengan dunia Peradilan khususnya Peradilan Agama, titik singgung yang dimaksud adalah dalam hal penyelesaian sengketanya. Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang -Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (selanjutnya disebut UUPAg.) telah membawa perubahan besar dalam eksistensi lembaga Peradilan Agama saat ini, dimana salah satu perubahan mendasar adalah penambahan wewenang lembaga Peradilan Agama antara lain dalam bidang ekonomi syari’ah.
Bertambahnya kewenangan Pengadilan Agama tersebut yang belum diimbangi dengan payung hukum (umbrella provision) yang memadai, hakim Pengadilan Agama dalam menjalankan fungsi yudikatif apabila tidak menemukan payung hukum, tidak sedikit yang mempertimbangkan faktor budaya, baik yang terekam dalam beberapa buku fiqih madzhab ataupun yang hidup dalam masyarakat (the living law). Hal ini merupakan kewajiban bahkan sudah merupakan asas peradilan untuk tetap menyelesaikannya. Oleh karena itu, setiap hakim dalam lingkungan Peradilan Agama dituntut supaya mengembangkan kemampuan ijtihad-nya (rechtvinding). Termasuk dalam katagori ijtihad disini adalah ia berusaha mencari atau memberikan keputusan hukum yang lebih sesuai dan adil dalam upaya mengembangkan sistem hukum itu sendiri.

Pembahasan :
A. Landasan Yuridis Penggunaan Fikih Muamalah Dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah
Berdasarkan Pasal 49 huruf (i) Undang-Undang Peradilan Agama, perkara ekonomi syari’ah termasuk kewenangan Pengadilan Agama. Masalah ekonomi syari’ah merupakan bidang baru dari kewenangan Pengadilan agama yang belum diatur dalam perundang-undangan, namun berdasarkan Pasaltersebut Pengadilan agama memiliki kewajiban bahkan sudah merupakan asas peradilan untuk tetap menyelesaikannya. Dasar hukumnya adalah:
a. Pasal16 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
b. Tidak ada satupun ketentuan undang-undang yang melarang penerimaan atas ilmu pengetahuan termasuk doktrin fikih muamalah sebagai dasar dalam menyelesaikan sengketa atau perkara.31
c. Kadang-kadang hakim merasa pengetahuannya di bidang hukum masih sangat terbatas, sehingga menganggap perlu mendasarkan putusannya pada pendapat para ahli yang dianggapnya lebih mengetahui.
Seorang hakim mendasarkan putusannya pada pendapat para ahli yang lebih mengerti sebagaimana point tiga (3) di atas mempunyai dua konotasi. Dalam teori hukum Islam (Islamic legal theory), apabila hakim tersebut mendasarkan putusannya kepada pendapat para ahli fikih (imam madzhab/fuqaha) dengan memahami dan mengerti baik cara maupun alasan-alasan yang menjadi dasar yang bersangkutan menetapkan garis-garis hukum terhadap kasus tertentu, maka hakim yang demikian menggunakan cara ittiba’ yaitu mengikuti pendapat madzhab fikih tertentu dengan mengetahui alasan-alasan penetapan hukumnya, dalam ajaran Islam hal ini dibolehkan.
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Peradilan Agama menganjurkan atau bahkan menuntut Hakim Agama supaya melakukan ijtihad (rechtvinding). Anjuran ini antara lain dapat dipahami dari teks-teks di bawah ini:
a. Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (Pasal16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Jo Pasal56 ayat (1) Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang peradilan Agama;
b. Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dengan mengintegrasikan diri dalam masyarakat …” (Angka 7 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman);
c. Hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum. Para pihak pencari keadilan datang padanya untuk mohon keadilan. Andai kata ia tidak menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk memutus berdasarkan hukum, sebagai seorang hakim yang bijaksana dan bertanggung jawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara” (Penjelasan Pasal14 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman).
d. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law). Dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, hakim merupakan rumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu hakim harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat” (Pasal27 berikut Penjelasannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman).
Konsep hukum Indonesia adalah hukum tertulis sebagaimana hukum yang dianut oleh Eropa Kontinental. Namun pada pelaksanaannya Indonesia tidak murni menganut sistem statut law dan juga tidak menganut sistem common law secara ketat. PasalI aturan Peralihan UUD 1945 menyebutkan: “Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Berdasarkan Pasaltersebut, yang dimaksud dengan hukum adalah hukum yang tertulis atau undang-undang dan bukan kitab yang berisi doktrin-doktrin hukum/fikih. Tetapi ketentuan tersebut bukan merupakan ketentuan yang menutup pintu ijtihad bagi hakim dalam menemukan hukum, sebab konteks tugas hakim berdasarkan Pasal16 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukum (hukum tertulis) tidak ada atau kurang jelas. Dalam Pasal28 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman juga dinyatakan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
B. Aktualisasi Fikih Muamalah yang Telah Menjadi Hukum Positif di Indonesia
Hukum Islam yang seperti diformulasikan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) yang bersumber pada fiqih para fuqaha digunakan sebagai acuan pada sistem operasionalisasi prinsip ekonomi syariah yang digunakan oleh para pihak.
Perlu ditegaskan bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) bukan lembaga Negara, keberadaan MUI tidak dibentuk berdasarkan undang-undang. Akan tetapi, peran kultural MUI secara kualitatif dan kuantitaif dalam mengembangkan dan menjalankan ekonomi syariah di Indonesia sangatlah besar. Fatwa merupakan salah satu institusi dalam hukum islam untuk memberikan jawaban dan solusi terhadap problem yang dihadapi umat. Sebab posisi fatwa di kalangan masyarakat umum, laksana dalil di kalangan para mujtahid. Artinya, kedudukan fatwa bagi orang kebanyakan,seperti dalil bagi mujtahid.37Apabila kedudukan fatwa dilihat dari aspek kajian ushul fiqh, maka kedudukan fatwa hanya mengikat orang yang meminta fatwa dan yang memberi fatwa.38Namun dalam konteks ini, teori itu tidak dapat sepenuhnya dapat diterima karena konteks, sifat, dan karakter fatwa saat ini telah berkembang dan berbeda dengan fatwa klasik.
Pada saat ini, fatwa ekonomi syari’ah DSN tidak hanya mengikat bagi para praktisi lembaga ekonomi syari’ah melainkan juga bagi warga masyarakat Islam Indonesia. Apalagi saat ini fatwa-fatwa tersebut telah dijadikan hukum positif melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah, sebagaimana tercantum dalam dalam Pasal1 angka (12) yang berbunyi “ Prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.”Selain fatwa-fatwa tentang ekonomi syari’ah terdapat beberapa peraturan yang berkenaan dengan fikih muamalah dalam bidang ekonomi yang telah menjadi hukum posistif di Indonesia dan menjadi acuan hakim dalam memutus perkara sengketa ekonomi syariah, diantaranya sebagai berikut:
1. UU No. 7 Tahun 1989, tentang Peradilan Agama.
2. UU. No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Label halal);
3. UU No. 38 Tahun 1999, tentang Pengelolaan Zakat.
4. UU. Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf;
5. UU Nomor 3 Tahun 2006 Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
6. UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Nasional (SBSN);
7. UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah;
8. UU. Nomor 50 Tahun 2009 Perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 Tentang Peradilan Agama;
9. P.P. No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik;
10. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2005 Tentang Penjaminan Simpanan Nasabah Bank Berdasarkan Prinsip Syariah
11. PP. Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Wakaf Tunai
12. PERMA No. 2 Tahun 2008 tentang Ekonomi Syariah.
Mengingat fatwa-fatwa dan peraturan perundang-undangan di atas belum meliputi seluruh item ekonomi syari’ah sebagaimana yang termaktub dalam Pasal49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Amandemen Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, maka hakim di Peradilan Agama juga perlu mempelajari 13 kitab-kitab fiqih yang dianjurkan oleh Menteri Agama RI melalui Biro Peradilan Agama berdasarkan Surat Edaran Nomor B/1/735 Tahun 1958.

Kesimpulan :
Pengaturan penggunaan fikih muamalah dalam penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di Pengadilan Agama sebagai acuan hakim dalam menyelesaikan sengketa diperbolehkan mengingat belum adanya peraturan perundangan yang secara umum mengatur tentang ekonomi syari’ah. Oleh karena itu guna memberikan kepastian hukum dan memenuhi rasa keadilan masyarakat, hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum di masyarakat yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah.
Aktualisasi fikih muamalah, bagian-bagian materil Syariat Islam yang telah menjadi hukum positif (Perundang-Undangan yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah) di Indonesia adalah Undang-Undang No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, PERMA No 2 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah serta Peraturan-peraturan lain seperti Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia dan Peraturan Bank Indonesia yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah. Fatwa-fatwa MUI yang berkaitan dengan masalah-masalah ekonomi syariah yaitu fatwa Nomor No. 01/DSN-MUI/IV/2006, No. 53/DSN-MUI/IV/2006. Peraturan perundang-undangan dan fatwa-fatwa tersebut menjadi dasar pelaksanaan kegiatan dibidang ekonomi syari’ah terutama pada bank-bank syari’ah atau bank-bank konvensional yang membuka cabang syari’ah.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Azhar Basyir, Riba, Utang-Piutang dan Gadai, Alma’arif, Bandung, 1983.
R. Abdul Djamali, “Hukum Islam Berdasarkan Ketentuan Konsorsium Ilmu Hukum”, Mandar Maju, Cetakan Kedua, Bandung, 1997.


Review Jurnal Hukum Perjanjian


Review Jurnal Hukum Perjanjian

Tugas Kelompok (2EB06):
1.AnggitDanisa 20210841
2. Bunga Restarina 21210491
3. Dian Julia Puspitasari 21210961
4. Maulana 24210261
5. Supra Andalini F S 26210742

Judul   : ASPEK HUKUM PERJANJIAN PERDAGANGAN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK

Pengarang : Asmadinata
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aspek hukum perjanjian transaksi eletronik dalam hukum perdagangan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penerapan hukum yaitu penelitian tentang perilaku dalam pelaksanaan suatu aturan hukum yang semestinya. Adapun penelitian ini lebih berfokus pada penelitian kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek hukum perjanjian perdagangan dalan transaksi eletronik dapat diterapkan atau diadopsi dalam peraturan perundangan yang berlaku dengan mengacu pada kaidah-kaidah hukum perdagangan yaitu dengan menggunakan asas konsensualitas dimana kesepakatan sebagai suatu hal yang menjadi dasar adanya perikatan dalam perjanjian perdagangan artinya apa yang telah disepakati oleh para pihak dalam perdagangan dengan model transaksi elektronik menjadi hukum dan mengikat bagi para pihak walaupun belum secara konkrit diatur oleh undang-undang.

Pendahuluan :
Semakin konvergennya (keterpaduan) perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi dewasa ini, telah mengakibatkan semakin beragamnya pula aneka jasa-jasa fasilitas telekomunikasi yang ada serta semakin canggihnya produk teknologi informasi yang mampu mengintegrasikan semua media informasi. Di tengah globalisasi komunikasi yang semakin terpadu dengan semakin populernya internet seakan telah membuat dunia semakin menciut dan semakin memudarkan batas-batas Negara berikut kedaulatan dan tatanan masyarakatnya.
Ironisnya dinamika masyarakat Indonesia yang masih baru tumbuh dan berkembang sebagai masyarakat industry dan masyarakat informasi seolah masih tampak premature untuk mengiringi perkembangan teknologi tersebut.

Pembahasan :
Dikarenakan belum adanya aturan perundangan (hukum positif) yang mengatur transaksi perdagangan dengan model transaksi elektronik tersebut maka dalam pembahasan tersebut penulis membatasi pada beberapa aspek hukum dalam perdagangan di Indonesia yaitu dengan menggunakan perspektif hukum perjanjian yang berlaku termasuk juga dari KUHP Perdata yang menjadi dasar atau sumber dari perikatan untuk adanya kesepakatan melakukan transaksi perdagangan yang selama ini telah digunakan sebagai dasar dari transaksi perdagangan konvensional.
Sementara untuk acuan yuridis dari transaksi elektronik maka penulis mengacu pada UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce 1996. Aspek hukum perjanjian tersebut adalah :
1.      Perjanjian dalam perdagangan
Pada dasarnya prinsip-prinsip atau kaidah yang fundamental dalam perdagangan internasional mengacu pada 2 prinsip yaitu :
a.       Prinsip Freedom of Commerce atau prinsip kebebasan berniaga.
Niaga dalam artian disini mencakup segala kegiatan yang berkaitan dengan perekonomian dan perdagangan. Jadi setiap Negara memiliki kebebasan untuk berdagang dengan pihak atau Negara manapun di dunia.
b.      Prinsip Freedom of Communication
Bahwa setiap Negara memiliki kebebasan untuk memasuki wilayah Negara lain, baik melalui darat atau laut untuk melakukan transaksi perdagangan internasional.
Masalah mengenai kaidah-kaidah fundamental sebagian besarnya didasarkan pada perjanjian-perjanjian dan juga sebagian lain pada hukum kebiasaan internasional. Karena itu pula sepanjang perjanjian-perjanjian tersebut sifatnya tidak begitu universal, sangatlah sedikit norma-norma khusus hukum perdagangan internasional yang dianggap sebagai “fundamental”. Kesulitan dalam menetapkan atau menyatakan karakteristik kaidah-kaidah hukum ekenomi internasional ini sebagai “fundamental” juga berasal dari karakteristik disiplin hukum ekonomi internasional itu. Yakni begitu luasnya perbedaan-perbedaan system ekonomi nasional. System hukum Indonesia tentang perjanjian diatur dalam pasal-pasal buku III BW tentang perikatan.
Dari apa yang telah diuraikan di atas dengan kata lain di dalam transaksi eletronik para pihak yang melakukan kegiatan perdagangan hanya berhubungan melalui suatu jaringan public yang dalam perkembangan terakhir menggunakan media internet. Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa e-commerce yang dilakukan dalam koneksi ke internet adalah merupakan bentuk transaksi beresiko tinggi yang dilakukan di media yang tidak aman.
2.      Legalitas perjanjian perdagangan
Menurut pasal 1320 KUHPerdata sahnya suatu perjanjian meliputi syarat subyektif dan syarat objektif. Syarat subyektif adalah : 1. Kesepakatan dan 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Sedangkan syarat objektif adalah : 1. Suatu hal yang tertentu (objeknya harus jelas) dan 2. Merupakan suatu kausa yang halal (tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum)
Syarat sahnya perjanjian kesepakatan antara para pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian. Kesepakatan inilah yang menjadikan perbuatan tersebut dapat dilaksanakan kedua belah pihak tanpa adanya paksaan dan kewajiban yang mutlak setelah perjanjian ini disepakati, sehingga ini akan melahirkan sebuah konsekuensi hukum bagi keduanya untuk mentaati dan melaksanakannya dengan sukarela. Berkaitan dengan perikatan yang lahir berdasarkan perjanjian, J. Satrio mengatakan bahwa perjanjian adalah sekelompok/sekumpulan perikatan yang mengikat para pihak dalam perjanjian yang bersangkutan.
Perjanjian dalam transaksi elektronik sebenarnya tidak berbeda hanya saja perjanjian tersebut dilakukan melalui media elektronik, syarat sahnya perjanjian pun dilakukan dengan proses penawaran hingga terjadi kesepakatan.

Kesimpulan :
Bahwa aspek hukum perjanjian dalam transaksi elektronik dapat diterapkan dalam peraturan perundangan yang berlaku dengan mengacu pada kaidah hukum perdagangan yaitu dengan menggunakan asas konsensualitas dimana kesepakatan sebagai suatu hali yang menjadi dasar adanya perikatan dalam perjanjian perdagangan artinya apa yang telah disepakati oleh para pihak dalam perdagangan dengan model transaksi elektronik menjadi hukum dan mengikat bagi para pihak walaupun belum secara konkrit diatur oleh undang-undang
Bahwa kepastian atas subjek dan objek hukum perdagangan menjadi hal yang diharapkan terkait dengan segala aspek hukumnya, khususnya mengenai legalitas dari suatu perjanjian perdagangan menjadi prosedur resmi adanya formalitas kesepakatan suatu perikatan.

DAFTAR PUSTAKA
Adolf, Haula, Hukum Ekonomi Internasional ; Suatu Pengantar, PT Raja Grafindo Persada Jakarta 1997.


Review Jurnal Hukum Perdata


Review Jurnal Hukum Perdata


Tugas Kelompok (2EB06):
1.AnggitDanisa 20210841
2. Bunga Restarina 21210491
3. Dian Julia Puspitasari 21210961
4. Maulana 24210261
5. Supra Andalini F S 26210742

Judul   : WUJUD GANTI RUGI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

Pengarang : M. Tjoanda
Abstrak :
Agreement is a legal relationship between two people or more, which creates certain rights and obligations. In terms of the debtor or the debt does not meet its obligations or does not meet its obligations as they should and not fulfilled that obligation because there is an element of him, then the lender has the right to demand restitution, This is what this writing melatar belakangi How problems with the form of compensation according to the Book of Law Civil Law? The results obtained that the compensation as a result of default set out in the Book of Civil Law Act, may also apply for compensation as a result of an unlawful act. Given the form of material loss and imateriil, then a form of compensation can be either kind (some money) or innatura.
Pendahuluan :
Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkana mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Pihak yang berhak menuntut sesuatu dinamakan kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si berutang.Tuntutan atau kewajiban tersebut lazimnya disebut sebagai prestasi. Pasal 1234 KUHPerdata :
“ Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.”
Menurut Pasal 1234 KUH Perdata prestasi itu dibedakan atas :
1. Memberikan sesuatu
2. Berbuat sesuatu
3. Tidak berbuat sesuatu
Dalam hal debitur atau si berutang tidak memenuhi kewajibannya atau tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana mestinya dan tidak dipenuhinya kewajiban itu karena ada unsur salah padanya, maka ada akibat-akibat hukum yang bisa menimpa dirinya.
Pertama-tama, sebagai yang disebutkan dalam pasal 1236 KUHPerdata dan 1243 KUHPerdata
Kreditur berhak untuk menuntut penggantian kerugian, yang berupa ongkos-ongkos, kerugian dan bunga.Akibat hukum seperti ini menimpa debitur baik dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, untuk melakukan sesuatu ataupun tidak melakukan sesuatu.
Bahwa kalau perjanjian itu berupa perjanjian timbal balik, maka berdasarkan pasal 1266 KUHPerdata maka kreditur berhak untuk menuntut pembatalan perjanjian, dengan atau tanpa disertai dengan tuntutan ganti rugi.Tetapi kesemuanya itu tidak mengurangi hak dari kreditur untuk tetap menuntut pemenuhan.
Apabila salah satu pihak dalam perikatan merasa dirugikan oleh pihak lainnya dalam perikatan tersebut, maka hukum memberikan wahana bagi pihak yang merasa dirugikan tersebut untuk melakukan gugatan ganti rugi.Hal inilah yang melatar belakangi penulis untuk melakukan penulisan dengan permasalahan bagaimana wujud ganti rugi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata?
Pembahasan :
1.      Pengertian Kerugian
Pengertian kerugian menurut R. Setiawan, adalah kerugian nyata yang terjadi karena wanprestasi.Adapun besarnya kerugian ditentukan dengan mem-bandingkan keadaan kekayaan setelah wanprestasi dengan keadaan jika sekiranya tidak terjadi wanprestasi.
Pengertian kerugian yang hampir sama dikemukakan pula oleh Yahya Harahap, ganti rugi ialah “kerugian nyata” atau “fietelijke nadeel” yang ditimbulkan perbuatan wanprestasi. Kerugian nyata ini ditentukan oleh suatu perbandingan keadaan yang tidak dilakukan oleh pihak debitur.
Pengertian kerugian yang lebih luas dikemukakan oleh Mr. J. H. Nieuwenhuis sebagaimana yang diterjemahkan oleh Djasadin Saragih, pengertian kerugian adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu, yang disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh pihak yang lain4. Yang dimaksud dengan pelanggaran norma oleh Nieuwenhuis di sini adalah berupa wanprestasi dan perbuatan melawan hukum.
Bila kita tinjau secara mendalam, kerugian adalah suatu pengertian yang relatif, yang bertumpu pada suatu perbandingan antara dua keadaan. Kerugian adalah selisih (yang merugikan) antara keadaan yang timbul sebagai akibat pelanggaran norma, dan situasi yang seyogyanya akan timbul anadaikata pelanggaran norma tersebut tidak terjadi.

Pengertian kerugian dibentuk oleh perbandingan antara situasi sesungguhnya (bagaiaman dalam kenyataannya keadaan harta kekayaan sebagai akibat pelanggaran norma) dengan situasi hipotesis (situasi itu akan menjadi bagaimana andaikata pelanggaran norma tersebut tidak terjadi). Sehingga dapat ditarik suatu rumusan mengenai kerugian adalah situasi berkurangnya harta kekayaan salah satu pihak yang ditimbulkan dari suatu perikatan (baik melalui perjanjian maupun melalui undang-undang) dikarenakan pelanggaran norma oleh pihak lain.

2.      Unsur-Unsur Ganti Rugi

Dalam pasal 1246 KUHPerdata menyebutkan :
“ biaya, rugi dan bunga yang oleh si berpiutang boleh dituntut akan penggantiannya, terdirilah pada umumnya atas rugi yang telah dideritanya dan untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya, dengan tak mengurangi pengecualian-pengecualian serta perubahan-perubahan yang akan disebut di bawah ini.”
Menurut Abdulkadir Muhammad, dari pasal 1246 KUHPerdata tersebut, dapat ditarik unsur-unsur ganti rugi adalah sebagai berikut :
(a) Ongkos-ongkos atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan (cost), misalnya ongkos cetak, biaya meterai, biaya iklan.
5 Ibid.
(b) Kerugian karena kerusakan, kehilangan ata barng kepunyaan kreditur akibat kelalaian debitur (damages). Kerugian di sini adalah yang sungguh-sungguh diderita, misalnya busuknya buah-buahan karena keterlambatan penyerahan, ambruknya sebuah rumah karena salah konstruksi sehingga merusakkan perabot rumah tangga, lenyapnya barang karena terbakar.
(c) Bunga atau keuntungan yang diharapkan (interest). Karena debitur lalai, kreditur kehilangan keutungan yang diharapkannya. Misalnya A akan menerima beras sekian ton dengna harga pembelian Rp. 250,00 per kg. Sebelum beras diterima, kemudian A menawarkan lagi kepada C dengan harga Rp. 275,00 per kg. Setelah perjanjian dibuat, ternyata beras yang diharapkan diterima pada waktunya tidak dikirim oleh penjualnya. Di sini A kehilangan keutungan yang diharapkan Rp. 25,00 per kg.6
Purwahid Patrik lebih memperinci lagi unsur-unsur kerugian. Menurut Patrik, kerugian terdiri dari dua unsur :
a. Kerugian yang nyata diderita (damnum emergens) meliputi biaya dan rugi
b. Keutungan yang tidak peroleh (lucrum cessans) meliputi bunga.
Kadang-kadang kerugian hanya merupakan kerugian yang diderita saja, tetapi kadang-kadang meliputi kedua-dua unsur tersebut.
Satrio melihat bahwa unsur-unsur ganti rugi adalah :
a. Sebagai pengganti daripada kewajiban prestasi perikatannya
b. Sebagian dari kewajiban perikatan pokoknya
c. Sebagai pengganti atas kerugian yang diderita oleh kreditur oleh karena keterlambatan prestasi dari kreditur.
d. Kedua-duanya sekaligus jadi sini dituntut baik pengganti kewajiban prestasi pokok perikatannya maupun ganti rugi keterlambatannya.

3.      Sebab-Sebab Kerugian

Dari pengertian kerugian pada sub bab sebelumnya dapat kita lihat bahwa kerugian adalah suatu pengertian kausal, yakni berkurangnya harta kekayaan (perubahan keadaan berkurangnya harta kekayaan), dan diasumsikan adanya suatu peristiwa yang menimbulkan perubahan tersebut. Syarat untuk menggeserkan kerugian itu kepada pihak lain oleh pihak yang dirugikan adalah bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh pelanggaran suatu norma oleh pihak lain tersebut.
Menurut Nurhayati Abas, ganti kerugian harus memenuhi beberapa sebab:
a. Harus ada hubungan kausal
b. Harus ada adequate
kreditur mempunyai kewajiban untuk berusaha membayar kerugian yang timbul sampai batas-batas yang patut. Kalau kreditur tidak berusaha membatasi kerugian itu maka akibat dari kelalaiannya tidakdapat dibebankan kepada debitur.Ketentuan ini juga berkaitan dengan prinsip dapat digugat dan hubungan adequat.

a. Hubungan Sine Qua Non (Von Buri)
Syarat pertama untuk membebankan kerugian pada orang lain adalah bahwa telah terjadi pelanggaran norma yang dapat dianggap sebagai condicio sine qua non kerugian tersebut.
Menurut teori ini suatu akibat ditimbulkan oleh berbagai peristiwa yang tidak dapat ditiadakan untuk adanya akibat tersebut.Berbagai peristiwa tersebut merupakan suatu kesatuan yang disebut “sebab”.
Nieuwenhuis memberikan contoh menarik untuk ini :
C menyewakan sejumlah kamar kepada beberapa orang, termasuk A dan B. Kamar-kamar tersebut terletak di atas ruang konfeksi milik C. Menurut kontrak sewa, para penyewa dilarang menggunakan alat masak listrik. Dalam urutan kronologis terjadi yang berikut ini: 11
a. A menghubungkan alat listrik pemasak air dengan jaringan listrik.
b. B menggunakan alat listrik pemanas air dalam kamar mandi, yang menyerap tenaga listrik yang sama.
c. Aliran listrik terhenti dan mesin-mesin jahit listrik di ruang konfeksi C terhenti.
Apa yang menjadi “penyebab” berhentinya mesin-mesin jahit listrik tersebut? Mesin-mesin itu tidak akan berhenti andaikata A tidak menggunakan alat listrik pemanas air, Jadi tingkah laku A berpengaruh terhadap berhentinya mesin-mesin jahit tersebut. Peristiwa a merupakan syarat untuk timbulnya peristiwa c. Dalam artinya bahwa tanpa a, c tidak akan terjadi (condicio sine qua non).
Kalau “penyebab” dirumuskan sebagai tiap peristiwa, yang tanpa peristiwa tersebut peristiwa lain tidak akan terjadi, maka b juga merupakan “penyebab” berhentinya mesin-mesin jahit tersebut. Anadaikata B tidak menggunakan alat pemanas air di kamar mandi, maka tidak akan ada kelebihan beban listrik dan mesin-mesin jahit itu tidak akan berhenti. Jadi, meskipun peristiwa a dan b kedua-duanya merupakan conditio sine qua non untuk peristiwa c, namun ahli hukum hanya mengkualifikasikan perbuatan A sebagai penyebab berhentinya mesin-mesin jahit tersebut dan kerugian yang ditimbulkan, karena baginya yang penting adalah menetapkan apakah kerugian dapat dibebankan pada orang lain daripada yang dirugikan. Karena ini hanya mungkin jika kerugian adalah akibat pelanggaran norma oleh orang lain itu, maka ahli hukum hanya menaruh minat akan syarat-syarat untuk timbulnya kerugian dimana terdapat pula pelanggaran norma hukum. Penyebab dalam arti yuridis dalam situasi di atas hanya penggunaan alat pemanas air minum oleh A (yang dilarang) meskipun perbuatan B dalam ukuran yang sama turut berperan dalam timbulnya kerugian.

b. Hubungan Adequat (Von Kries)

Kerugian adalah akibat adequat pelanggaran norma apabila pelanggaran norma demikian meningkatkan kemungkinan untuk timbulnya kerugian demikian. Inilah inti ajaran penyebab yang adequat.
Teori ini berpendapat bahwa suatu syarat merupakan sebab, jika menurut sifatnya pada umumnya sanggup untuk menimbulkan akibat. Selanjutnya Hoge Raad memberikan perumusan, bahwa suatu perbuatan merupakan sebab jika menurut pengalaman dapat diharapkan / diduga akan terjadinya akibat yang bersangkutan. Ajaran ini mencampur adukkan antara causalitet dan pertanggunganjawaban.
Hoge Raad menganut ajaran adequate.Hal ini ternyata dari arrest-nya tanggal 18 November 1927, dimana dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan akibat yang langsung dan seketika adalah akibat yang menurut aturan-aturan pengalaman dapat diharapkan terjadi.

4. Wujud Ganti Rugi

Pada umumnya ganti rugi diperhitungkan dalam sejumlah uang tertentu.Hoge Raad malahan berpendapat, bahwa penggantian “ongkos, kerugian, dan bunga” harus dituangkan dalam sejumlah uang tertentu.Namun jangan menjadi rancu; kreditur bisa saja menerima penggantian in natura dan membebaskan debitur. Yang tidak dapat adalah bahwa debitur menuntut kreditur agar menerima ganti rugi dalam wujud lain daripada sejumlah uang.
Pendapat seperti itu dengan tegas dikemukakan, ketika Hoge Raad menghadapi masalah tuntutan ganti rugi dari seorang yang minta kepada toko perhiasan, agar perhiasan yang ia beli daripadanya diperbaiki, tetapi perbaikan itu ternyata malah menimbulkan kerusakan dan kerugian lebih parah lagi. Hof memutuskan bahwa pemilik toko perhiasan harus mengganti kerugian, dengan cara mengembalikan harga yang dulu dibayar oleh pembeli dan pembeli mengembalikan perhiasannya. Cara perhitungan ganti rugi seperti ini tidak dibenarkan oleh Hoge Raad.Ganti rugi harus diwujudkan dalam sejumlah uang.
Pitlo berpendapat bahwa undang-undang kita tidak memberikan dasar yang cukup kuat untuk kita katakan, bahwa tuntutan ganti rugi hanya dapat dikemukakan dalam sejumlah uang tertentu.12 Alasan pokoknya sebenarnya adalah bahwa berpegang pada prinsip seperti itu banyak kesulitan-kesulitan dapat dihindarkan. Anehnya, kalau ganti rugi itu berkaitan dengan onrechtmatige daad, maka syarat “dalam wujud sejumlah uang” tidak berlaku, karena Hoge Raad dalam kasus seperti itu membenarkan tuntutan ganti rugi dalam wujud lain.
Walaupun demikian hal itu tidak berarti, bahwa untuk setiap tuntutan ganti rugi kreditur harus membuktikan adanya kepentingan yang mempunyai nilai uang. Hal itu akan tampak sekali pada perikatan untuk tidak melakukan sesuatu, dimana pelanggarannya biasanya menimbulkan kerugian yang sebenarnya tidak dapat dinilai dengan uang.

Sering pula muncul pada tuntutan ganti rugi atas dasar onrechtmatige daad. Namun adanya ganti rugi atas kepentingan yang tidak dapat dinilai dengna uang, secara tegas-tegas diakui, seperti pada pasal 1601w KUHPerdata yang menyatakan bahwa :
“ Jika salah satu pihak dengan sengaja atau karena salahnya telah berbuat melawan dengan salah satu kewajibannya dan kerugian yang karenanya diderita oleh pihak lawan tidak dapat dinilaikan dengan uang, maka Hakim akan menetapkan suatu jumlah uang menurut keadilan, sebagai ganti rugi”.
Lebih dari itu Pitlo secara tegas mengatakan bahwa kehilangan kesempatan menikmati kesegaran hidup (gederfde levensvreugde) dapat menjadi dasar untuk tuntutan ganti rugi; demikian juga kehilangan nilai-nilai affectie. Tuntutan ganti rugi (kerugian idiil) sebesar f. 600,00 oleh seorang komponis atas dasar telah dibawakannya lagu ciptannya dalam suatu pertunjukan komersial (dengan memungut bayaran) tanpa mendapat izinnya lebih dahulu telah dikabulkan oleh Raad van Justite Batavia dalam keputusannya tanggal 11 Maret 1927. Dengan demikian di sini dasar pemikirannya bukannya tidak boleh memberikan ganti rugi kepada kerugian yang berwujud lain, tetapi karena kerugian yang berwujud lain itu tidak dapat diganti dengan uang.
Jadi yang dimaksud bukannya sifat dari kepentingan yang dirugikan, tetapi apakah yang dirugikan bisa dipulihkan dengan pembayaran ganti rugi sejumlah uang.Kalau bisa maka hal itu berarti, bahwa kerugian itu bisa dinilai dengan uang. Untungnya pengadilan dalam hal ini tidak mengambil sikap yang kaku; rasa sakit bisa dihilangkan atau dikurangi dengan pemberian obat (yang dibayar dengan sejumlah uang), kebutaan dibantu dengan seorang penuntun (yang harus dibayar secara berkala), kenikmatan estetika bisa diganti dengan kenikmatan sejenis yang lain (yang harus dibeli atau dibayar dengan sejumlahuang). Konsekuensinya, Hakim tidak berhak menetapkan ganti rugi sejumlah uang tertentu atas kerugian, kalau bagaimanapun dengan uang itu (kerugian) tidak akan dapat dikurangi atau diperbaiki, kecuali sudah tentu kalau undang-undang sendiri membolehkan hal seperti itu.

5. Bentuk-Bentuk Kerugian

Bentuk-bentuk kerugian dapat kita bedakan atas dua bentuk yakni :

a. Kerugian materiil

b. Kerugian immateriil

Undang-undang hanya mengatur penggantian kerugian yang bersifat materiil.Kemungkinan terjadi bahwa kerugian itu menimbulkan kerugian yang immateriil, tidak berwujud, moril, idiil, tidak dapat dinilai dengan uang, tidak ekonomis, yaitu berupa sakitnya badan, penderitaan batin, rasa takut, dan sebagainya.
Sulit rasanya menggambarkan hakekat dan takaran obyektif dan konkrit sesuatu kerugian immateriil. Misalnya: bagaimana mengganti kerugian penderitaan jiwa. Si A berjanji kepada si B untuk menjual cincin berlian sekian karat.Ternyata berlian itu palsu yang mengakibatkan kegoncangan dan penderitaan batin bagi si B. Bagaimana memperhitungkan kerugian penderitaan batin dimaksud? Sekalipun memang benar menentukan hakekat dan besarnya kerugian non-ekonomis, ganti rugi terhadap hal ini pun dapat dituntut. Penggantiannya dialihkan kepada suatu perhitungan yang berupa “pemulihan”.Biaya pemulihan inilah yang diperhitungkan sebagai ganti rugi yang dapat dikabulkan oleh hakim.
Seperti dalam contoh di atas, tentu tidak dapat diganti kegoncangan jiwa yang diderita oleh si pembeli tersebut.Tetapi debitur dapat “dibebankan” sejumlah biaya pengobatan rehabilitasi.Misalnya ongkos dokter dan biaya sanatorium.Sampai benar-benar si kreditur itu pulih kembali.Atau kalau kita ambil kecelakaan yang semakin merajalela di jalan raya. Karena kesalahan dan kecerobohan , A menabrak B sehingga kakinya harus diamputasi. Tak mungkin debitur mesti mengganti kaki yang dipotong itu.Bagaimana mengherstel kaki yang sudah dipotong.Yang rasional ialah sejumlah ganti rugi kebendaan berupa uang. Ini sesuai pula dengan ketentuan pasal 1371 KUHPerdata yang menyatakan : cacat atau puntung pada bagian badan / tubuh yang dilakukan dengan “sengaja” atau oleh karena “kurang hati-hati”, memberi hak kepada orang itu menuntut “bayaran” di luar biaya pengobatan. Dari pasal ini dapat ditarik kesimpulan si korban dapat menuntut ganti rugi “kebendaan” atau kerugian yang non-ekonomis, yang terdiri dari :

- sejumlah biaya pengobatan ;

- dan sejumlah uang bayaran sesuai dengan keadaan cacat yang diderita.

Mengenai ukuran uang bayaran cacat di luar pengobatan tadi, dinilai atas dasar “kedudukan dan kemampuan” kedua belah pihak, sambil memperhatikan hal ihwal kejadian itu sendiri.
Akan tetapi tidak setiap kerugian ekonomis mesti diganti dengan suatu yang bersifat kebendaan yang bernilai uang.Malah kadang-kadang lebih tepat diganti dengan hal-hal yang bersifat non-ekonomis pula. Umpamanya “hak perseorangan” (persoonlijkerechten) : integritas pribadi, kebebasan pribadi, memulihkan nama baik dan sebagainya. Dalam hal ini pemulihan atau rehabilitasi hak asasi perseorangan tadi, jauh lebih efektif dari pada penilaian ganti rugi uang.
Namun di luar hal-hal yang tersebut tadi biasanya ganti rugi non-ekonomis lebih sempurna bila diganti dengan sejumlah uang sebagai alat rehabilitasinya.Asal benar-benar jumlah ganti rugi tadi “efektif” banyaknya sesuai dengan perhitungan yang memungkinkan tercapainya hasil pemulihan yang mendekati keadaan semula.Misalnya pengobatan sanatorium disamping biaya pemulihan dan kehidupan selanjutnya, haruslah benar-benar efektif nilainya (effectieve waarde).

Kesimpulan :
Ganti rugi sebagai akibat pelanggaran norma, dapat disebabkan karena wanprestasi yang merupakan perikatan bersumber perjanjian dan perbuatan melawan hukum yang merupakan perikatan bersumber undang-undang. Ganti rugi sebagai akibat wanprestasi yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dapat juga diberlakukan bagi ganti rugi sebagai akibat perbuatan melawan hukum.Mengingat adanya bentuk kerugian materiil dan imateriil, maka wujud ganti rugi dapat berupa natura (sejumlah uang) maupun innatura.
DAFTAR PUSTAKA
Setiawan R., Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung, 1977.
Harahap M. Yahya, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986.
Meliala Djaja S., Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan, Nuansa Aulia, Bandung, 2007.
Muhammad Abdulkadir, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982.
Nieuwenhuis J.H., terjemahan Djasadin Saragih, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Airlangga University Press, Surabaya, 1985.
Patrik Purwahid, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian dan Dari Undang-Undang), Mandar Maju, Bandung, 1994.
Satrio J., Hukum Perikatan (Perikatan Pada Umumnya), Alumni, Bandung, 1999.

Sumber :